watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

PENGALAMAN BERSAMA ABG

Perkenalkan namaku Prihatin Pamungkas. Kenapa
namaku seperti itu? Dan kenapa judulnya adalah
tiga belas?
Ini ceritanya.
Aku akan menceritakan secara singkat saja. Aku
adalah anak bungsu, dilahirkan pada bulan
Desember tahun 1965 di kota kecil di ujung barat
Jawa Barat. Kedua orang tuaku berasal dari Jogya,
Jawa Tengah. Bapakku adalah seorang tukang
kayu dan saat aku dilahirkan, bekerja pada saat PT
Krakatau Steel didirikan. Setelah proyek selesai,
bapakku bekerja di Departemen Penerangan, kota
Serang. Tetapi malang G30S PKI terjadi dan
bapakku yang tak tahu apa-apa ikut dibuang ke
Nusa Kambangan, lalu ke P. Buru. Tinggallah
ibuku yang sedang hamil tua mengandung aku
dan kakakku satu-satunya. Akhirnya kakakku
dititipkan kepada salah seorang tentara CPM
sementara ibuku bekerja di penggilingan padi.
Sebut saja nama perwira CPM itu Pak Broto.
Saat ibuku bekerja, tiba-tiba perutnya mulas dan
tanpa sempat dibawa ke dukun beranak ataupun
rumah sakit, maka lahirlah aku di lumbung padi
dengan ditolong oleh beberapa pekerja
penggilingan. Aku diberi nama Prihatin, sesuai
dengan kondisi dan situasi saat itu. Oleh Pak
Broto, ibuku ditolong dengan bekerja sebagai
pembantu rumah tangganya, selama kurang
lebih 8 bulan.
Dikarenakan Bapak Kusuma, adik dari Pak Broto
yang tinggal di Jakarta membutuhkan pembantu,
maka ibuku dimintanya dan ditarik ke Jakarta
untuk menjadi pembantu di rumah Bapak
Kusuma. Jadilah aku, kakakku dan ibuku hijrah ke
Jakarta pada bulan Juli 1966 di rumah Bapak
Kusuma di daerah Cilandak. Pak Kusuma adalah
seorang perwira AL. Oleh Pak Kusuma, namaku
diberi tambahan Pamungkas agar segala
keprihatinanku segera berakhir. Tetapi pada tahun
1971, Pak Kusuma meninggal dunia karena sakit.
Bu Kusuma memutuskan untuk kembali ke Jogya
sedangkan anak-anaknya karena sudah
berkeluarga semua akan tetap di Jakarta dan
masing-masing sudah punya pembantu.
Akhirnya Bu Kusuma memberi ibuku uang yang
cukup sebagai modal untuk usaha. Dikarenakan
usia kakakku yang sudah 7 tahun lebih dan harus
sekolah, maka kakakku dititipkan ke saudara
bapakku yang kerja di Pemda di Rawamangun.
Akhirnya ibuku mengontrak rumah di daerah
Terogong dekat Pasar Mede, dan membuka
warung rokok kecil-kecilan di pinggir jalan
Fatmawati. Jarak antara rumah kontrakanku
dengan warung kira-kira 500 meter. Kontrakan
itu milik orang Jakarta, ada 3 pintu, masing-
masing ada dapur, 1 kamar tidur dan ruang
tamu. Lantainya masih tanah. Sumur dan kamar
mandinya hanya satu di belakang dipakai
bersama-sama. Letak kontrakan tersebut di
tengah kebun rambutan jauh dari tetangga.
Sedangkan pemilik kontrakan, rumahnya cukup
jauh sekitar 300 meter.
Masih sangat kuingat bahwa kami hanya tidur di
dipan kayu beralaskan tikar tanpa kasur, piring
makan hanya dua buah itupun dari kaleng, radio
2 band AM dan SW1, tak punya lemari pakaian.
Pakaian kami hanya diletakkan di bawah tikar
tempat tidur agar terlihat rapi.
Kontrakanku letaknya di tengah. Tetangga kiriku
seorang tukang kayu yang kerjanya tidak tetap,
sedangkan istrinya adalah tukang sayur keliling.
Anaknya hanya seorang perempuan namanya
Titin. Umurnya saat itu baru 5 tahun, lebih muda
1 tahun dariku. Anaknya hitam manis. Sedangkan
sebelah kananku adalah Mbak Nunung yang
kerjanya di toko pakaian di daerah Blok M.
Umurnya sekitar 20 tahun. Putih, cantik dengan
rambut panjang dan lesung pipitnya.
Aku dan Titin sangat dekat bagaikan saudara
kandung. Itu dikarenakan kami sering main
bersama, makan bersama, mandi bersama
bahkan tidur siang pun kadang kami bersama.
Anda mungkin sulit membayangkan bagaimana
anak sekecil kami sudah harus mengurus diri
sendiri. Tapi keadaanlah yang memaksa kami
demikian.
Tahun 1972, aku sekolah di SD Negeri 01 yang
letaknya kurang lebih 1 km dari rumah yang
kutempuh dengan jalan kaki melewati
persawahan dan kuburan. Sekolah dengan
telanjang kaki adalah hal yang biasa pada saat itu.
Begitu pula aku. Setiap hari sepulang sekolah aku
ke warung ibuku untuk bantu-bantu, terkadang
harus belanja dagangan ke pasar. Sehingga
waktu untuk bermain sangat sedikit.
Hubunganku dengan Titin makin dekat saja
karena kalau siang kami tak ada teman bermain.
Hanya aku dan Titin. Teman sebenarnya sih
banyak, hanya karena kami dari keluarga miskin,
kami agak minder dan teman-teman kami pun
sepertinya enggan berteman dengan kami. Tapi
dalam halpelajaran sekolah, aku sama sekali tidak
pernah ketinggalan. Aku selalu bersyukur,
walaupun buku pelajaranku selalu pinjam dari
teman yang satu angkatan diatasku dan belajar
dengan lampu teplok, aku bisa sejajar dengan
temanku yang lain. Bahkan aku selalu masuk
dalam 10 besar. Hal itu berlangsung terus sampai
aku kelas 2 SMP.
Hingga pada suatu saat ketika aku berumur 13
tahun. Aku telah selesai berbelanja keperluan
warung untuk esok hari. Rokok, pisang, ubi,
terigu, minyak tanah, minyak goreng dll. Oh ya,
ibuku selain jualan rokok, juga jualan pisang
goreng, ubi rebus, kacang goreng, kopi, teh dll.
Saat aku sedang istirahat, karena siangnya aku
harus sekolah, aku mendengar suara erangan
dari kamar sebelah kanan. Seperti orang
menangis tapi kok intonasinya aneh.
"Kenapa Mbak Nunung ya.. apa sedang sakit
perut?" pikirku.
Oh ya Mbak Nunung sekarang sudah janda.
Suaminya meninggal tertabrak mobil 2 tahun
yang lalu saat usia perkawinan mereka sekitar 6
bulan.
Penasaran kuintip lewat celah-celah bilik bambu.
Aku kaget! Penasaran, pelan-pelan kubesarkan
lubang mengintipnya, nah semakin jelas.
Ternyata Mbak Nunung sedang bersenggama
dengan lelaki yang tak kukenal. Mbak Nunung
posisinya berada di atas lelaki itu. Kepalanya
mengadah ke atas.Karena posisi mengintipku dari
samping, maka yang kelihatan hanyalah
payudara Mbak Nunung saja. Payudaranya
kurasa cukup besar dan masih kencang itu
berguncang-guncang. Mungkin karena Mbak
Nunung janda yang belum punya anak, jadi
payudaranya masih bagus. Umur Mbak Nunung
saat itu sekitar 28 tahun. "Aduuhh.. shh.. sshh..
ooohh.. ooohh.." rintih Mbak Nunung. Lelaki itu
memegangi pinggang Mbak Nunung, sedangkan
pantatnya bergoyang-goyang.
Aku yang baru pertama kali melihat adegan itu
secara live (walaupun cerita tentang hal itu sering
kudengar dari teman-teman) membuatku makin
deg-degan. Aku terus mengintip sementara tanpa
kuperintah kemaluanku menegang keras. Kulihat
frekuensi naik turun Mbak Nunung semakin cepat
sambil mulutnya bicara yang tidak jelas. Lalu tiba-
tiba Mbak Nunung mengeram panjang."Aaaa..
aaachchch.. hhuuu.." dan terlihat dia tergeletak
lemas di atas laki-laki itu. Pelan-pelan aku turun
dari dipan dengan kaki yang gemetaran.
Siang itu aku di sekolah banyak bengongnya,
sehingga teman-temanku banyak yang bertanya
kenapa aku ini, kujawab saja aku sedang tidak
enak badan. Mungkin masuk angin.
Semenjak saat itu setiap ada suara-suara desahan
dan kesempatan aku selalu mengintip aktifitas
Mbak Nunung. Mbak Nunung liburnya tidak tentu.
Terkadang Senin, kadang Selasa atau hari-hari
yang lain. Jadwal desahan itu hampir bersamaan
yaitu sekitar jam 10 pagi sampai jam 12
siang.Yang kuherankan, lelaki pasangannya sering
berganti-ganti. Akhirnya aku tahu kalau Mbak
Nunung itu biasa tidur dengan lelaki yang mau
membayarnya. Pantas saja penjaga toko kok
punya TV serta perabotannya lengkap dan bagus.
Mungkin awalnya Mbak Nunung biasa dibawa ke
penginapan tapi karena dianggapnya kontrakan
sepi, maka Mbak Nunung memutuskan main di
kontrakan. Karena sudah beberapa kali aku
melihat Mbak Nunung melakukan senggama,
akhirnya aku tahu urut-urutannya. Pertama
mereka saling cium, saling raba, saling remas,
saling hisap lalu melakukan penetrasi disegala
posisi. Aku tahu bentuk dari vagina Mbak Nunung
yang berambut lebat.
Itulah yang membuatku mempunyai perasaan
lain setiap melihat kawan dekatku, si Titin. Titin
kini umurnya sudah 12 tahun, sudah kelas 1 SMP.
Kami sekolah di tempat yang sama. Sama-sama
masuk siang. Dia sekarang jauh lebih putih
daripada dulu.
Hal-hal yang tadinya tidak begitu kuperhatikan
pada Titin akhirnya kuperhatikan. Wajahnya yang
oval, hidungnya yang agak mancung, giginya
yang putih, bibirnya yang merah alami, alisnya
yang cukup tebal, rambutnya dipotong pendek
ternyata semuanya dapat nilai diatas rata-rata.
Dadanya bagus tidak terlalu besar. "Kenapa baru
sekarang aku perhatikan ya. Kenapa nggak dari
dulu?" pikirku. Mungkin karena aku terlalu sibuk
dengan urusanku, keluargaku, sekolahku. Padahal
aku sering mengajarkan Matematika dan IPA
kepadanya.
Suatu ketika, sewaktu kulihat ada Mbak Nunung di
rumah sedang menerima tamu, kira-kira jam 10,
aku tahu apa yang akan terjadi. Setelah kira-kira
mereka masuk kamar, kupanggil si Titin. Saat itu
dia sedang mencuci beras.
"Tin, sini deh. Mau lihat yang bagus nggak?"
kataku.
"Lihat apa?" dia balik tanya.
"Pokoknya bagus deeehhh.." ajakku sambil
menggandeng tangannya.
Sementara dia sedang jongkok, sekilas terlihatlah
celana dalamnya yang berwarna putih di antara
pahanya yang mulus. Pikiranku langsung ngeres.
"Seperti apa ya isinya? Apa masih seperti
dulu?"pikirku. Karena sejak umur 8 tahun kami
tak pernah mandi bareng lagi. Malu katanya. Saat
dia bangun, dadanya sempat tersentuh lenganku.
Lunak dan lembut. Waahh, makin ngeres aja aku.
Setelah menyimpan bakul beras di rumahnya, dia
pun masuk ke rumahku lewat pintu
belakang."Sssttt.. jangan berisik ya.." kataku
sambil menempelkan telunjukku ke bibirku.
"Kenapa?" tanyanya.
Aku dekatkan bibirku ke telinganya.
"Geser kalendernya, di situ ada lobang. Coba lihat
ada apa.." bisikku.
Sementara itu sudah ada suara desahan-desahan
halus dari kamar sebelah. Dia naik dipan perlahan-
lahan. Digesernya kalender dan mulai mengintip.
Reaksinya pertamanya adalah kaget dengan muka
merah menatapku.
"Ada apa?" tanyaku berlagak bego.
"Mereka lagi ngapain?" tanyanya.
"Aduuhhh.. Titin ini belum ngerti atau pura-pura
siihh.." batinku.
Aku langsung mengambil kesimpulan sendiri
kalau Titin itu sama seperti aku dulu. Tidak tahu
apa-apa tentang seks.
"Coba kamu lihat terus. Aku nggak ngerti
makanya kupanggil kamu. Karena aku udah
pernah liat tapi aku nggak tahu.." jawabku pura-
pura bodoh.
Akhirnya Titin mengintip lagi. Selama Titin
mengintip, kuperhatikan dia dari belakang agak ke
kanan. Dia memakai daster tipis dengan lubang
lengan yang agak lebar. Aku bisa melihat bulatan
payudaranya yang tertutup kaos dalam agak
kendor. Agak mengembung, putih, putingnya
agak samar-samar karena dari samping. Kulihat
pinggangnya agak ramping, bongkahan
pantatnya yang cukup besar untuk anak
seusianya. Sementara garis celana dalamnya
terlihat jelas di balik dasternya yang biru tipis.
Nafas Titin kudengar makin cepat dan badannya
agak gemetar. Cukup lama kira-kira 20 menit,
sampai terdengar erangan panjang dari kamar
sebelah. Akhirnya Titin duduk di dipanku.
Wajahnya merah padam. Waahh.. makin cantik
aja Titinku ini.
"Gimana Tin?" tanyaku.
"Tauk.. ah.. aku mau masak..!" sahutnya sambil
berlari keluar.
"Dia kenapa ya..?" batinku.
Setelah itu aku bikin adonan kue, memotong-
motong pisang, merebus ubi, lalu pergi mandi.
Saat sedang berjalan ke kamar mandi, aku
sempat melihat Titin sedang merenung di depan
kompornya. Pasti gara-gara mengintip tadi.
"Ayoo.. ngelamun. Entar kemasukan setan
loohhh. Mau sekolah nggak?" tanyaku.
Dia rupanya kaget saat kutanya begitu.
"Eh.. oh. Mas Pri aja dulu. Aku lagi nungguin nasi
nich.. Nanti gosong.." sahutnya.
Dia selalu memasak sebelum berangkat sekolah
supaya kalau ibunya pulang keliling menjajakan
sayur, makanan sudah ada. Tinggal goreng
lauknya saja. Kalau aku, pagi setelah minum teh,
kubuka warung dan ibuku memasak setelah itu
ibu ke warung, lalu menuliskan apa-apa yang
perlu dibeli di pasar. Sepulang dari pasar
kupersiapkan bahan-bahan untuk pisang goreng
lalu dibawa ke warung. Aku selalu belajar di
malam hari. Baik PR maupun belajar untuk esok
harinya.
Selesai mandi aku ganti baju. Siap-siap mau
sekolah. Kupakai sepatuku. Melihat sepatu itu aku
tersenyum sendiri. Sepatu itu adalah hasil jerih
payahku mengumpulkan kardus-kardus bekas
dan menjualnya ke tukang pemulung yang tak
jauh dari kontrakanku. Setelah selesai
membungkus yang mau dibawa ke warung, aku
teriak pada Titin.
"Tiinnn.. ayo berangkat..! Nanti telat lhoo.."
teriakku.
"Sebentaaarrr.. Titin lagi pake sepatu.." sahutnya.
Tak lama Titin keluar. "Kok hari ini tambah cantik
ya.." batinku.
Selama dalam perjalanan ke sekolah, Titin banyak
diamnya dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Biasanya dia cerita tentang keadaan pasar Cipete
dimana dia belanja sayur untuk dijual oleh ibunya
(dia berangkat jam 4 pagi, pulangnya jam 6
sampai setengah tujuh. Setelah ibunya pergi
berkeliling, dia tidur sebentar). "Mungkin karena
pengalaman mengintip tadi.." batinku.
Pulang sekolah pun dia banyak diamnya. "Kenapa
dengan Titinku ini.." batinku.
Sementara aku tinggal di warung untuk bantu
ibu, dia langsung pulang seperti biasanya.
Malam harinya, saat aku sedang belajar, Titin
datang menghampiriku.
"Mas Pri, ajarin Titin soal yang ini dooong.."
pintanya sambil membawa buku Matematika-
nya.
"Sebentar ya Mas selesaikan PR Fisika Mas dulu.."
jawabku.
Setelah aku selesai, aku tanya apa PR-nya. Ah,
ternyata hanya soal sinus, cosinus dan tangen
saja. Itu soal mudah bagiku. Kujelaskan panjang
lebar tentang hal itu. Dia memperhatikan dengan
seksama. Memang si Titin itu termasuk anak yang
pintar. Dia cepat menangkap apa yang
kuterangkan. Mungkin guru di sekolah terlalu
cepat mengajarnya atau kurang bisa memberi
contoh yang dapat dimengerti. Selama aku
menjelaskan, Titin sering memandangku. Aku
bisa melihat jernih bola matanya walaupun
ruangan hanya diterangi dengan lampu minyak.
Setelah jelas dengan keteranganku, dia mulai
mengerjakan soal-soal PR-nya. Tak lama
kemudian dia selesai dengan PR-nya dan
kuperiksa ternyata benar semua. Mulailah kita
mengobrolmacam-macam. Kami memang
jarang sekali menonton televisi. Karena harus
menunggu Mbak Nunung pulang kerja sekitar
jam 9 malam terkadang lebih, atau ke rumah
pemilik kontrakan. Ibuku sudah tidur sejak selesai
sholat Isya. Begitulah cara ibuku untuk menjaga
kondisi tubuhnya setelahseharian bekerja di
pinggir jalan. Penyakit ibuku paling-paling hanya
masuk angin. Setelah aku kerokin dan pijitin
sudah sembuh. Begitu pula dengan ibu si Titin.
Bapak si Titin saat ini sedang mendapat pekerjaan
membangun rumah di Semarang sehingga
pulangnya 1 bulan sekali. Oh.. bapak si Titin
asalnya dari Purwokerto, sedang ibunya dari
Ciamis. Jadi si Titin itu Janda(Jawa-Sunda).
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, akhirnya sampai
ke topik apa yang kita intip tadi siang. Ditopik ini
aku merasakan penisku mulai mengeras. Apalagi
Titin sering memandangku dengan pandangan
yang terasa lain dibandingkan kemarin.
Dia bertanya, "Mas, apa ya.. kira-kira yang
dirasakan Mbak Nunung tadi siang ya..? seperti
kepedesan, seperti nangis.. tapi sepertinya Mbak
Nunung sangat menikmati yaa.."
"Waahh kalau itu Mas nggak tau.. abis Mas belum
pernah ya.. mana Mas tau.." jawabku.
"Tapi sewaktu Titin ngintip tadi, kok susu sama
tempek Titin jadi gatel. Mau Titin garuk malu ada
Mas Pri.. akhirnya Titin pulang. Terus Titin pipis,
dan sewaktu cebok rasanya enaaak banget.."
sahutnya.
Si Titin menyebut kelaminnya dengan sebutan
"tempek".
"Terus Titin jadi bingung kenapa Titin ya..
perasaan itu baru pertama kali Titin rasakan.."
sambungnya.
Memang aku sama Titin kalau ngomong itu
sudah nggak pake bates apa-apa. Kita berdua
selalu blak-blakan apa adanya. Aku jadi bingung
mau jawab apa. Tiba-tiba Titin menyandarkan
kepalanya ke pundakku. Ini pertama kalinya
karena biasanya hanya tangannya saja yang ke
pundakku.
"Kenapa ya.. sepertinya Titin merasa dekeett
banget sama Mas Pri. Padahal Mas Pri kan bukan
apa-apaku."
"Lho.. Titin kan sudah Mas anggap adik Mas. Jadi
pantes dong kalau Titin deket sama Mas."
sahutku.
"Mas sayang nggak sama Titin?" tanyanya sambil
memandangku.
Wajahnya sangat dekat denganku. Dapat
kurasakan hembusan nafasnya yang wangi. Aku
tak berani menegok ke arahnya.
"Ya.. jelas sayang dong. Sama adiknya kok nggak
sayang," jawabku.
"Mas, Titin mau tanya ya.. tapi Mas nggak boleh
marah ya."
"Tanya apa? Emang Mas pernah marah sama
Titin?" tanyaku.
"Kalau Mas lagi ngintip Mbak Nunung, apa yang
Mas rasakan?" tanyanya.
Waaa.. Pertanyaannya makin menjurus nich.
"Mas juga merasakan singkong Mas mengeras
sendiri." kataku.
Aku menyebut penisku dengan "singkong".
"Maasss kalau ngomong liat ke Titin doonggg..
jangan lihat keluar," katanya sambil menarik
lenganku ke dadanya.
Lenganku merasakan daging lunak dan hangat di
balik dasternya.
"Apa si Titin tidak memakai kaos dalem ya?"
batinku.
Aku menengok ke Titin sambil memegang
dadanya.
"Lho.. kok Titin nggak pake kaos dalem?" tanyaku.
"Kaos dalem Titin basah semua Mas.. Nanti kalau
Titin pake takut masuk angin," sahutnya.
Saat aku menengok ke Titin, jarak wajahku dan
wajahnya sangat dekat sekali. Entah siapa yang
meminta atau memulai, aku mencium pipi
kirinya. Wangi. Dia mendesah pelan, "Hmmm..
aaahhh.." Kucium pipi satunya, keningnya,
matanya, hidungnya. Desahannya makin keras.
"Hmmm.. aaahh.. Maasss.." desisnya dengan
bibir sedikit membuka. Kukecup bibirnya, dia
diam saja tak ada reaksi apa-apa. Lama-lama dia
pun membalas. Kami hanya berciuman bibir ke
bibir saja. Maklum.. masih pemula sekali.
Tanganku masih memeluk di punggungnya.
Belum tahu harus berbuat apa.


Adult | GO HOME | Exit
1/1792
U-ON

inc Powered by Xtgem.com